TANJUNGPURA.ID (KETAPANG) – Calon Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) nomor urut 1, Sutarmidji bersama Calon Bupati Ketapang nomor urut 3, Junaidi melaksanakan kampanye dialogis di Desa Kalimas Baru, Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, Minggu (20/10) malam. Dalam kesempatan itu, Sutarmidji sekaligus mensosialisasikan visi misi, dan program pasangan Midji-Didi untuk lima tahun ke depan.
Gubernur Kalbar periode 2018-2023 itu juga sempat berdialog bersama warga, untuk menyerap aspirasi, dalam rangka menyempurnakan visi misi, dan program ke depan. Terutama hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat di Desa Kalimas Baru, yang secara umum hidup dari perkebunan kelapa sawit. Selain itu, wilayah yang secara umum dihuni masyarakat transmigrasi tersebut, sebagian juga ada yang bertani.
Midji-sapaan karibnya berharap tata niaga sawit yang dijalani masyarakat bisa terus stabil, dan membuat masyarakat sejahtera. Mengenai harga tandan sawit (TBS) yang fluktuatif, ia bercerita pernah menyampaikan masalah tersebut secara langsung ke presiden. Karena berkaitan dengan mengatasi persoalan kelangkaan minyak goreng di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Itu ia sampaikan ketika masih menjabat sebagai gubernur, saat Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengundang gubernur seluruh Indonesia ke Ibu Kota Negara Nusantara (IKN).
“Waktu itu harga tandan sawit sedang fluktuatif, turun tajam, naik tinggi. Pamerintah juga sampai memberikan subsidi minyak goreng (karena langka dan mahal). Saya bilang ke Pak Presiden mengapa PTPN (PT Perkebunan Nusantara) tidak difokuskan memproduksi minyak goreng untuk di dalam negeri. Pak Erick (menteri BUMN) bilang sama presiden kalau PTPN hanya mengusasai enam persen (produksi) sawit saja (se-Indonesia),” ungkapnya.
Sementara untuk mencukupi kebutuhan minyak goreng di dalam negeri, butuh sekitar 30 persen produksi sawit se-Indonesia. Kondisi itu menurutnya justru menjadi peluang bagi sawit-sawit yang diproduksi oleh masyarakat. Pemerintah lewat PTPN yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bisa langsung menyerap produksi sawit masyarakat untuk mencukupi kebutuhan sawit yang 30 persen tersebut.
Dengan demikian harga sawit yang dijual masyarakat menjadi terjaga karena dibeli langsung oleh negara, dan tidak mudah dipermainkan oleh tengkulak, atau perusahaan swasta.
“Kebutuhan 30 persen itu, (dari) sawit rakyat itu, saya bilang dibeli semua (untuk produksi minyak goreng dalam negeri). Harganya pun kan tidak fluktuatif jadinya, karena pemerintah itu (yang beli), tidak dipermainkan oleh pabrik (swasta),” ujarnya.
Selain perkebunan sawit, pertanian yang ada di Desa Kalimas Baru, juga diharapkan dia harus tetap dijaga sebagai lumbung pangan. Namun, Midji mengingatkan, jangan sampai tata ruang antara perkebunan dengan pertanian serampangan. Karena itu akan berdampak pada produksi pertanian yang dijalankan masyarakat.
“Karena sawit itu nyerap air sampai (kedalaman) 70 sentimeter dari permukaan, makanya (perkebunan sawit) ada parit-parit. Kalau padi itu dua sentimeter di bawah permukaan (tanah) harus (terus) lembab, kalau sudah diserap sawit 70 sentimeter kering itu pertanian,” ujarnya.
Untuk itu tata ruang wilayah pertanian, dan perkebunan dijelaskan Midji, harus tepat. Masyarakat sebagai pemilik lahan jangan hanya memanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit, hingga tidak memperhatikan kawasan pertanian di sekitarnya.
“Memang tanah (milik) bapak/ibu tapi itu harus diatur, jangan suka-suka, kalau tidak lumbung pangan bapak/ibu bisa habis. Tanah itu ada fungsi sosial jadi harus dibenahi, tata ruangnya harus ketat, tidak bisa tidak,” tegasnya.
Kerena lanjut dia, petani baru bisa untung ketika sudah bisa menghasilkan padi di atas tiga ton per hektare. Dengan demikian Nilai Tukar Petani (NTP) akan tinggi. Midji mencontohkan seperti di Kabupaten Sambas, lahan pertaniannya bisa menghasilkan sampai enam ton per hektare, karena kawasan pertaniannya jauh dari perkebunan kelapa sawit.
Ia menambahkan, kondisi lahan di Kalbar ini, sebenarnya rata-rata bisa menghasilkan lebih dari enam ton padi per hektare. Asal irigasi, dan pupuknya baik. “Jadi petani itu, minimal tiga ton (per hektare) baru bisa balik modal, di bawah itu (pasti) rugi. Mudah-mudahan di sini bisa di atas tiga ton. Asal jangan jarak 100 meter (dari lahan pertanian) ada kebun sawit,” pungkasnya.